si pencari ilmu: April 2012

Wednesday, April 11, 2012

sejarah bahasa indonesia





Sejarah Lahirnya Bahasa Indonesia
 Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia yang digunakan sebagai lingua franca (bahasa pergaulan) di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern. Bentuk bahasa sehari-hari ini sering dinamai dengan istilah Melayu Pasar. Jenis ini sangat lentur, sebab sangat mudah dimengerti dan ekspresif, dengan toleransi kesalahan sangat besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain dari berbagai bahasa yang digunakan para penggunanya.

Bentuk yang lebih resmi, disebut Melayu Tinggi yang pada masa lalu digunakan oleh kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Bentuk bahasa ini lebih sulit karena penggunaannya sangat halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif Bahasa Melayu Pasar.
Pemerintah kolonial Belanda melihat kelenturan Melayu Pasar dapat mengancam keberadaan bahasa dan budaya. Belanda berusaha meredamnya dengan mempromosikan bahasa Melayu Tinggi, diantaranya dengan penerbitan karya sastra dalam Bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Tetapi Bahasa Melayu Pasar sudah digunakan oleh banyak pedagang dalam berkomunikasi.

Mengapa bahasa melayu dijadikan bahasa indonesia


Bahasa melayu sudah merupakan lingua franca di indonesia, bahasa perhubungan, bahasa perdagangan
Sistem bahsa melayu sederhana, mudah dipelajari karena dalam dalam bahsa ini tidak dikenal tingkatan bahsa seperti dalam bahsa ini tidak dikenal tingkatan bahsa seperti dalam bahsa jawa (ngoko,kromo)
Suku jawa, suku sunda, dan suku-suku yang lain dengan suka rela menerima bahsa melayu sebagai bahasa Nasioanal
Bahasa Melayu mempunyai kesanggupan untuk dipakai sebagai bahasa kebudayaan dalam arti yang luas
Sejarah perkembangan bahasa melayu kebahasa indonesia
Bahasa-bahasa yang tersebar di dunia ini tidak hanya tumbuh dalam seting historis tertentu, tetapi juga berkembang berdasarkan interaksi dengan lingkungan sosial tertentu yang bersinggungan antar ruang dan waktu. Ini yang menyebabkan terjadinya saling mempengaruhi dalam penggunaan bahasa. Perkembangan historis itu dapat dilihat dari asal usul bahasa yang merupakan alat komunikasi antar orang yang berkembang dari bahasa isyarat ke kata-kata yang semakin komunikatif.
Perkembangan itu juga berlangsung dalam satu ruang social. Perubahan-perubahan ruang yang terjadi telah menyebabkan satu bahasa bertemu dengan bahasa lain. Daerah perbatasan, misalnya mempertemukan suatu tempat dengan tempat lain, saling pengaruh antar bahasa terjadi dengan intensitas yang melebihi daerah-daerah lain. Pertemuan itu menyebabkan saling pengaruh dan memperkaya khasanah bahasa masing-masing, sehingga itudapat memperkaya perbendaharaan kata baru.
Perkembangan bahasa dalam konteks tersebut di atas memiliki tiga bentuk: pertama perkembangan bahasa yang dipengaruhi oleh interaksi antar daerah; kedua perkembangan yang bahasa disebabkan oleh interaksi antara satu bahasa daerah dengan bahasa daerah yang lain; dan yang terakhir, perkembangan bahasa yang diakibatkan oleh pertemuan bahasa ini dalam konteks yang lebih luas (Irwan Abdullah, 2007).
Menurut ahli etnologi dan filologi, bahasa Melayu termasuk bahasa Austronesia, berasal dari Kepulauan Riau (Sumatera) telah mengalami proses perkembangan seperti itu. Mula-mula bahasa ini hanya dipercakapkan terbatas oleh penuturnya di Riau dan sekitarnya. Secara kebetulan, karena kepulauan ini terletak di jalur perdagangan yang sangat ramai di selat Malaka; dan penduduknya sebagian besar bermatapencaharian sebagai nelayan atau pedagang antar pelabuhan; serta bahasanya mudah dipahami atau komunikatif; maka penutur bahasa Melayu sering berinteraksi dengan penutur bahasa yang lain (seperti bahasa Hindi, Malagasi, Tagalok, Jawa, dan lain-lainnya) sehingga menjadi dikenal dan berkembang di Malaka dan daerah-daerah sekitarnya (Vlekke, 2008: 11). Akhirnya bahasa ini tidak hanya digunakan oleh para pedagang di sekitar perairan Malaka, tetapi juga di seluruh Nusantara. Pada Zaman Kerajaan majaphit, atau diperkirakan sebelum abad XV, bahasa Melayu itu telah menjadi lingua francabahasa dagang - bagi para saudagar di pelabuhan-pelabuhan di Asia, Asia Tenggara, dan Asia Timur (Ricklefs, 1991: 77; Linschoten, 1910: Bab IV)
Pada bulan Agustus 2002, bahasa Melayudianggap banyak penuturnya di dunia - pernah ditulis di dalam salah satu surat khabar di Malaysia bahwa bahasa Melayu menduduki posisi keempat dalam urutan bahasa utama dunia, setelah Bahasa Tionghoa, Inggris, dan Spanyol. Menurut James T. Collins, hal itu tidak betul. Ia mengatakan bahwa jumlah penutur bahasa Melayu di seluruh dunia hanya 250 juta orang, sedang penutur bahasa Hindi – yang menjadi bahasa ibu maupun bahas kedua (ketiga) di India dan di negara lain seperti di Mauritius, Afika selatan, Yaman, dan lain-lain pada thun 1988 – berjumlah 300-435 juta orang (J.C. Collins, 2009, hal. 14-21).
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa melayu mempunyai peranan yang sangat penting di berbagai bidang atau kegiatan di Indonesia pada masa lalu. Ini tidak hanya sekedar sebagai alat komunikasi di bidang ekonomi (perdagangan), tetapi juga di bidang sosial (alat komunikasi massa), politik (perjanjian antar kerajaan), dan sastra-budaya (penyebaran agama Islam dan Kristen) (Suryomihardjo, 1979, hal. 63). Di Indonesia banyak karya sastra berbahasa Melayu, di antaranya seperti Hikayat Raja Pasai,Sejarah Melayu, Hikayat Hasanudin, dan lin-lain.
Sejak itu penguasaan dan pemakaian bahasa Melayu menyebar ke seluruh pelosok kepuluan Indonesia (tidak hanya di daerah pantai atau pelabuhan tetapi juga di pedalaman) dan memberikan wilayah yang heterogen itu suatu kesan kebersatuan kepada pihak luar. Tetapi ada juga kesatuan yang lebih mendalam yang mengikat bersama sebagian besar suku bangsa dan orang Indonesia. Keastuan ini muncul dari unsur-unsur dasar yang umum dari peradaban mereka.
Kemudian muncullah sebuah pertanyaan, bagaimana bahasa Melayu tersebut dapat diadopsi menjadi bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia, di negara RI? Perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak lama telah menjadi pembicaraan luas. Seperti telah diceriterakan di atas bahwa bahasa Melayu yang aslinya merupakan salah satu bahasa daerah dari kurang lebih 512 bahasa daerah di wilayah Indonesia (Irwan Abdullah, 2008), telah lama memiliki peranan penting di bidang ekonomi, sosial, politik, dan sastra-budaya.
Selanjutnya, pada awal abad XX di Indonesia berkembang suatu situasi yang mendorong munculnya suatu pemikiran akan perbaikan nasib terhadap rakyat pribumi dari pemerintaah kolonial Belanda melalui kebijakan Politik Etis (Kahin, 1952)., yang meliputi: program edukasi, transmigrasi, dan irigasi. Melalui program edukasi itulah, sekolah-sekolah bumi putra bermunculan dengan pengantar bahasa daerah, di mana sekolahan itu berada. Pada perkembangan berikutnya, pemerintah menuntut agar setiap sekolah menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantarnya.Tetapi sejak awal abad xx kepentingan daerah jajahan memerlukan tenaga-tenaga rendahan yang mengerti bahasa Belanda, kemudian muncul sekolah-sekolah dengan pengantar bahasa Belanda. Di kota-kota, sekolah lebih banyak mengajarkan bahasa Belanda.
Dengan sistem pendidikan itu, kemudian munculah kelompok elit baru yang amat peka terhadap perubahan jaman (Pringgodigdo, 1970; Savitri, 1985). Tanda-tanda kepekaan terhadap perubahan itu dapat dilihat dengan lahirnya organisasi yang bercorak polityik yang mencita-citakan kemajuan dan kemerdekaan bangsa, seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij. Sangat menarik untuk dicatat ialah mengenai bahasa yang dipakai di dalam konggres-konggres oleh orgranisasi pergerakan Indonesia pada waktu itu adalah kebanyakan bahasa Melayu, Jawa, dan Belanda. Salah seorang pelajar yang tergabung dalam Indonesische Verbond van studeerenden di Wageningen, Belanda, pada tahun 1918 telah mengusulkan agar bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah di Indonesia (A. Suryomihardjo, 1979).
Di Indonesia sendiri perkembangan pers berbahasa Melayu dinilai sangat penting peranannya, karena pers itu dapat langsung mencapai penduduk bumi putera. Pada mulanya pers Melayu adalah milik orang Belanda maupun Cina, tetapi tidak jarang dewan redaksinya campuran. Umumnya guru bahasa Melayu yang duduk di dalam dewan redaksi. Kemudian bermunculan mingguan dan surat khabar berbahasa Melayu, Jawa, dan Belanda, seperti Medan Priyai (1907-1912), Sarotama (1914), Indonesia Merdeka (1923), Bataviaasch Genootschap, dan lain-lain (A. Surjamihardjo, 1979).
Dengan munculnya majalah dan surat khabar-surat khabar berbahasa daerah itu, pemerintah kolonial Belanda merasa kawatir. Banyak kasus persdelict di Indonesia pada waktu itu, yaitu larangan terbit bagi brosur dan pers yang berbahasa daerah. Suatu contoh terbitnya artikel yang berjudul Als ik eens Nederlander was, dan dalam bahasa Melayu, Jikalau saya sorang Belanda, pada tahun1913 dilarang untuk diterbitkan. Artikel ini menceriterakan pengecaman terhadap perayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda yang akan di selenggarakan di Indonesia.
Melalui perkembangan pendidikan dan pengajaran yang semakin maju di Indonesia, bahasa Melayu menjadi semakin populer dan bersifat egaliter, sehingga sidang-sidang atau kongres-kongres dari organisasi pergerakan nasional Indonesia menggunakan Bahasa Melayu. Ini ternyata menjadikan bekal untuk mempersatukan seluruh bangsa Indonesia dalam berjuang melawan pemerintah Kolonial Belanda.
Oleh karena itu, para pemuda Indonesia dalam konggresnya yang ke 2 bersatu pada tanggal 28 Oktober 1928 bertekat bulat untuk menggalang persatuan dan kesatuan dengan Sumpah Pemuda Indonesia Raya. Konggres itu menghasilkan keputusan: Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Sejak itulah bahasa Melayu disepakati untuk diangkat sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional yaitu Bahasa Indonesia


(Sejarah Berdirinya atau Pemakaian Bahasa Indonesia) – Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36. Ia juga merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Meski demikian, hanya sebagian kecil dari penduduk Indonesia yang benar-benar menggunakannya sebagai bahasa ibu, karena dalam percakapan sehari-hari yang tidak resmi masyarakat Indonesia lebih suka menggunakan bahasa daerahnya masing-masing sebagai bahasa ibu, seperti bahasa Melayu pasar, bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan lain sebagainya. Untuk sebagian besar masyarakat Indonesia lainnya, bahasa Indonesia adalah bahasa kedua dan untuk taraf resmi bahasa Indonesia adalah bahasa pertama. Bahasa Indonesia merupakan sebuah dialek bahasa Melayu yang menjadi bahasa resmi Republik Indonesia.
Bahasa Indonesia diresmikan pada kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Bahasa Indonesia merupakan bahasa dinamis yang hingga sekarang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah dan asing. Bahasa Indonesia adalah dialek baku dari bahasa Melayu yang pokoknya dari bahasa Melayu Riau sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah, “Jang dinamakanBahasa Indonesia’ jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dariMelajoe Riaoe’, akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa Melajoe hingga menjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia.” atau sebagaimana diungkapkan dalam Kongres Bahasa Indonesia II 1954 di Medan, Sumatra Utara, “…bahwa asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju. Dasar bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju jang disesuaikan dengan pertumbuhannja dalam masjarakat Indonesia.”

Secara sejarah, bahasa Indonesia merupakan salah satu dialek temporal dari bahasa Melayu yang struktur maupun khazanahnya sebagian besar masih sama atau mirip dengan dialek-dialek temporal terdahulu seperti bahasa Melayu Klasik dan bahasa Melayu Kuno. Secara sosiologis, bolehlah kita katakan bahwa bahasa Indonesia baru dianggaplahiratau diterima keberadaannya pada tanggal 28 Oktober 1928. Secara yuridis, baru tanggal 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara resmi diakui keberadaannya.
Fonologi dan tata bahasa dari bahasa Indonesia cukuplah mudah. Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu. Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang digunakan sebagai penghantar pendidikan di perguruan-perguruan di Indonesia..